Download Buku Pedoman Penggiat P4GN

WhatsApp Image 2020-02-06 at 14.34.29Penggiat P4GN adalah orang atau individu dari lingkungan tertentu yang dengan sukarela bersedia mengikuti pengembangan kapasitas yang dilaksanakan baik oleh BNN maupun dalam koordinasi BNN selama waktu yag ditetapkan, dengan modul/materi yang diajarkan, dengan lulus menjadi tes uji Narkotika, untuk menjadi penggiat dalam lingkungannya melalui pengukuran IKP yang dimonitor dan dilaporkan kepada
BNN.

Pedoman ini melingkupi apa dan siapa Penggiat P4GN, proses rekrutmen Penggiat P4GN, bimbingan teknis penguatan Penggiat P4GN, mekanisme, tugas dan tanggung jawab penggiat; sampai tata cara monitoring dan evaluasi dan pelaporan.

Download buku Pedoman Penggiat P4GN di sini

Download Perka BNN No. 7 Tahun 2019 tentang Penggiat Anti Narkoba di sini 

Fenomena Vaping Bocah

fitting

Vape rakitan dari fitting lampu (dok: Jawa Pos)

Baru-baru ini sebuah kejadian cukup menghebohkan terjadi di Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Sebanyak 16 pelajar kelas VI SD dipergoki gurunya sedang vaping (mengisap rokok elektrik) beramai-ramai di kelas.

Sang guru tentu saja kaget karena alat-alat yang dipakai murid-muridnya ini tak lazim. Mereka menggunakan vape modifikasi yang dirakit sendiri dari fitting lampu. Peralatan yang dipakai pun bikin geleng-geleng kepala, yakni fitting lampu, kapas, macis (korek api gas), dan liquid (cairan rokok elektrik) yang terkadang diganti dengan minyak angin.

Fitting lampu berfungsi sebagai pengganti RDA (Rebuildable Dripping Atomizer) seperti yang ada pada rokok elektrik. Bagian tembaga fitting dipakai untuk memanaskan kapas. Saat macis dinyalakan, bagian tembaga akan memanas dan membuat kapas yang telah dibasahi menghasilkan uap.

Mereka vaping beramai-ramai secara bergantian. Menurut pengakuan inisiator vaping itu, ia mengetahui cara pembuatan vape fitting dari seorang teman yang bersekolah di salah satu SMP. Dia sering didatangi oleh anak tersebut sehingga lama-lama tertarik untuk mencoba.

Ia diajari bahkan diberikan liquid secara gratis. Si bocah kemudian membagikan ‘ilmu’ yang didapatkannya kepada teman-teman sekelasnya. Alasannya klise, agar terlihat keren di hadapan teman-temannya.

Umumnya para pelajar ini tertarik dengan aroma liquid vape. Menurut pengakuan mereka, sensasi aroma yang mereka rasakan adalah permen yang wangi. Begitulah cara mereka mendapatkan sensasi yang hampir sama dengan rokok elektrik dengan sederhana dan murah.

Soal dampak buruknya tentu saja mereka tidak tahu sama sekali. Padahal, vaping apalagi dengan menggunakan alat-alat seperti itu dampaknya bisa lebih berbahaya dari rokok. Tak hanya tar dan nikotin, sejumlah zat berbahaya bahkan narkoba bisa masuk ke liquid vape.

Radang Mematikan

Sebuah studi yang dilakukan University North Carolina (UNC) di Amerika Serikat menemukan bahwa vaping dapat memicu respons kekebalan unik di paru-paru. Akibatnya bisa terjadi penyakit radang mematikan.

Vaping akan meningkatkan jumlah netrofil di saluran napas. Jumlah netrofil yang tidak terkendali akan menimbulkan peradangan paru-paru, seperti Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) and cystic fibrosis. COPD adalah salah satu penyebab utama kematian di AS.

Ada juga produk vape yang mengandung formaldehyde. Zat ini adalah bahan kimia yang dapat menyebabkan kanker pada manusia. Dalam beberapa merek, kandungan senyawa ini melebihi jumlah maksimal yang direkomendasikan untuk manusia.

Paling memprihatinkan adalah vaping membuat anak-anak kecanduan sejak masih belia. Anak-anak ini seharusnya mengisi hari-harinya dengan keceriaan bersama teman-temannya. Namun kecanduan vape sangat berpotensi mengarahkan mereka ke petualangan-petualangan yang lebih berbahaya, yaitu narkoba.

Dari kejadian ini ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita. Pertama, anak-anak yang dicekoki dengan vape ini bukanlah suatu fenomena yang alamiah. Patut diduga ada bandar narkoba yang bermain.

Vape sebenarnya hanyalah pintu masuk. Dengan kata lain, vape modifikasi itu merupakan sarana sosialisasi pemakain zat ke tingkatan yang lebih parah menuju sabu maupun ganja. Cara mereka vaping pun sudah sangat mirip dengan orang nyabu.

Para penjahat ini lihai benar mencari calon mangsa yang potensial. Mereka memilih kandidat yang bisa menyebarkan pengaruh kepada anak-anak lainnya. Si anak juga akan dijadikan kaki-tangan untuk distribusi narkoba di kemudian hari.

Teman sebaya merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak. Havinghurst (Hurlock, 1978) mendefinisikan kelompok teman sebaya sebagai suatu kumpulan orang yang kurang lebih berusia sama yang berpikir dan bertindak bersama-sama. Pengaruh kelompok sebaya ini dapat berupa positif maupun negatif. Nah, yang perlu diwaspadai adalah pengaruh negatifnya.

Kedua, metode vaping ‘nyeleneh’ mereka berasal dari sumber yang tak terkontrol. Mereka tidak hanya belajar langsung dari orang lain. Ada banyak sekali tutorial membuat vape dari fitting lampu di situs berbagi video youtube.

Bagi anak-anak zaman sekarang akses terhadap internet sudah tak ada batasan. Selain dari ponsel pintar, mereka bisa mengakses internet melalui warnet. Berdalih mencari materi pelajaran yang disuruh guru, si anak justru berselancar mencari ilmu-ilmu ‘nyeleneh’. Tanpa adanya informasi yang cukup mengenai dampak buruknya, si anak mudah terjebak.

Ketiga, perlu ada pengawasan yang lebih ekstra baik para orang tua maupun guru di sekolah. Pembawa pengaruh buruk terhadap anak sebagian besar bukanlah orang-orang asing melainkan yang memiliki kedekatan dengannya. Tidak kalah penting adalah perlunya upaya meningkatkan ketahanan diri si anak dalam menolak narkoba.

Ketahanan Diri

Sebuah pemetaan yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan bahwa ada korelasi antara ketahanan diri remaja dengan kemampuan menolak narkoba. Temuan dalam Pemetaan Ketahanan Diri Remaja terhadap Narkoba (2018) itu menangkap fenomena yang terjadi pada remaja awal hingga remaja akhir.

Ketahanan diri terhadap narkoba didefenisikan sebagai daya tahan seseorang terhadap dorongan, keinginan, atau pengaruh untuk menyalahgunakan narkoba. Dengan kata lain, konsep ini merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri, menghindar dan menolak segala bentuk penyalahgunaan narkoba.

Ada 3 aspek ketahanan diri yang dimiliki seseorang yaitu regulasi diri, assertiveness, dan reaching out. Adapun kaitan ketahanan diri remaja dengan penyalahgunaan narkoba berhubungan dengan faktor individu, keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah.

Temuan dari pemetaan tersebut menunjukkan remaja yang hidupnya bahagia memiliki ketahanan diri yang tinggi. Sebaliknya, remaja yang pernah mengalami penyalahgunaan zat (subtance abuse) memiliki ketahanan diri lebih rendah dibandingkan yang tidak pernah mengalaminya sama sekali.

Faktor individual lain yang berpengaruh adalah prilaku merokok di kalangan anak dan remaja. Remaja yang tidak merokok memiliki ketahanan diri yang jauh lebih baik dibandingkan anak seusianya yang merokok. Seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa vape dan rokok menjadi pintu masuk ke penyalahgunaan narkotika.

Keluarga juga memiliki peranan penting dalam menumbuhkan ketahanan diri remaja. Frekuensi berkomunikasi orang tua dengan anak yang perlu lebih intens, pengasuhan orang tua yang demokratis, serta hubungan yang hangat menjadi hal penting dalam membuat remaja memiliki ketahanan diri yang tinggi.

Pola asuh demokratis memiliki ketahanan diri yang lebih tinggi dibandingkan pola asuh lainnya. Hubungan orang tua-anak yang hangat menjadikan remaja memiliki ketahanan diri yang lebih baik dibandingkan hubungan yang biasa saja dan apalagi yang hubungannya dingin.

Adapun temuan di lingkungan masyarakat, anak di kawasan tertib ronda atau siskamling lebih tangguh menolak narkoba dibandingkan yang tidak. Remaja yang di lingkungan tempat tinggalnya tidak ada pengguna narkoba juga lebih tahan dibandingkan yang rawan. Sebagai tindakan preventif sebaiknya dibuat media peringatan bahaya narkoba, penyuluhan narkoba, serta memperbanyak aktivitas warga yang positif.

Terakhir, faktor keamanan di lingkungan sekolah. Menurut temuan tersebut, remaja yang sekolahnya ada petugas keamanan memiliki ketahanan diri lebih tinggi dibandingkan yang lain. Selain itu, sekolah yang pernah mengadakan penyuluhan narkoba memiliki siswa dengan ketahanan diri lebih tinggi dibandingkan yang tidak pernah sama sekali.

Sekali lagi, upaya pencegahan jauh lebih baik daripada penanggulangan. Selamatkanlah masa depan anak-anak kita dari ancaman-ancaman nyata yang ada di depan mata seperti vape, rokok, miras, maupun narkotika. Jangan sampai terjadi fenomena lost generation.

| Esdras Idi Alfero Ginting S.Sos | IG: @esdrasidialfero | 
Tulisan ini dimuat di Harian Waspada Medan, edisi Rabu 4 Desember 2020

Download versi e-paper di sini

Budayakan Literasi kepada Anak, Bukan Gawai

Belajar sambil bermain dengan penuh keceriaan adalah salah satu metode ampuh dalam memberikan edukasi literasi sejak dini kepada anak. (Foto: dokumentasi pribadi)

Perkembangan teknologi digital dalam beberapa tahun terakhir begitu memengaruhi pola kehidupan manusia. Kehadiran gawai atau lebih dikenal dengan sebutan gadget beserta segala macam peranti canggih yang tertanam di dalamnya membawa manusia masuk ke peradaban baru.

Di satu sisi, dampak positif gawai memang luar biasa. Gawai adalah dunia kecil yang bisa membawa seseorang ke pintu mana saja. Informasi apapun yang dibutuhkan dengan mudah bisa dicari dengan bantuan mesin pencarian seperti Google.

Namun di sisi lain, pengguna gawai terutama anak-anak belum memiliki kesadaran berpikir mengenai baik-buruknya. Mereka tidak memakainya untuk menggali ilmu pengetahuan yang bermanfaat melainkan sekadar kesenangan belaka bahkan untuk hal-hal negatif seperti pornografi. Celakanya mereka jadi ketagihan layaknya kecanduan narkoba.

Masalah timbul ketika si anak sudah mulai kerajingan. Tanpa memandang waktu dan tempat ia selalu meminta gawai kepada orang tuanya. Jika tidak diberi maka si anak akan terus merengek bahkan menangis meraung-raung.

Sebagian besar orang tua justru tidak tega melihat anaknya terus-menerus menangis. Hatinya luluh dan menyerahkan gawainya kepada si anak. Tanpa disadari, si anak tumbuh menjadi pribadi apatis, manja dan keras kepala. Akhirnya orang tua tak bisa lagi mengendalikan kelakuan si anak. Mereka hanya bisa mengeluh tanpa bisa menyelesaikan akar permasalahannya.

Kehadiran gawai memang telah mengubah kebiasaan kalangan anak-anak. Anak-anak zaman dahulu yang belum mengenal gawai mengisi hari-harinya dengan bermain di luar rumah atau juga membaca buku cerita. Anak zaman dulu harus dipaksa agar mau pulang ke rumah, sebaliknya anak ‘zaman now’ bersikeras tidak mau ke luar rumah karena sibuk dengan gawainya.

Masa tumbuh-kembang anak memang sebaiknya perlu diisi dengan edukasi sebagai modal masa depan. Menurut psikolog anak Desni Yuniarni, 80% otak anak berkembang pada periode yang disebut dengan golden age, atau masa-masa keemasan yaitu usia nol hingga lima tahun. Pada masa-masa tersebut, peran orangtua sangat dibutuhkan dalam mengawasi tumbuh dan berkembangnya otak anak. (Kompas.com,20/12/2018)

Idealnya pada fase ini orang tua fokus menempa karakter si anak dengan metode terbaik. Salah satu pilihannya adalah menjauhkan anak dari terpaan gawai semaksimal mungkin. Tanpa berinteraksi dengan gawai pun tumbuh-kembang mereka tidak akan terganggu.

Mereka tidak akan tertinggal dibandingkan dengan anak-anak lain. Kemungkinan buruknya memang bisa muncul perundungan atau pengucilan dari teman-teman sebayanya karena dianggap tidak bisa beradaptasi. Namun jika mental si anak kuat, ia akan mampu menghadapinya.

Pola Asuh

Detik demi detik kebersamaan orang tua dan anak adalah proses pembelajaran yang berkelanjutan. Orang tua berperan sebagai kreator yang membentuk kepribadian anak. Pada tahap itu si anak seperti kertas kosong yang belum ada coretan apapun di atasnya.

Skenario orang tua tentu saja menginginkan anaknya kelak menjadi sosok yang bisa dibanggakan. Untuk mencapai hal itu butuh proses panjang dan intervensi berkelanjutan. Kepribadian anak tak terbentuk begitu saja dengan sendirinya secara alamiah. Tentunya didikan orang tua juga memiliki pengaruh sangat kuat.

Menurut Baumrind dalam Shaffer (2008), ada empat jenis pola asuh. Pertama, pola asuh otoriter yakni orang tua mendominasi dan memiliki kontrol yang besar pada anak. Kedua, pola asuh permisif dimana ciri utamanya adalah orang tua menunjukkan sikap permisif atau serba boleh dan tidak banyak menuntut. Ketiga,  pola asuh abai yaitu orang tua tidak banyak berperan dalam mengasuh anak. Keempat, pola asuh otoritatif dimana orang tua menganggap penting alasan di balik sikap atau perilaku anak sehingga mereka bersikap demokratis.

Pola asuh otoritatif merupakan pola asuh yang paling tepat untuk digunakan orang tua. Pola asuh ini memberi pengaruh pada kebiasaan membaca anak karena orang tua tidak memaksakan kehendaknya kepada anak. Orang tua justru mendorong anak untuk melakukan suatu hal yang diharapkan dengan memberi pertimbangan yang rasional. Dengan penerapan pola asuh otoritatif ini orang tua dapat menumbuhkan kebiasaan membaca sejak dini pada anak

Praktik literasi sudah perlu mulai ditanamkan kepada anak ketika dia sudah mulai mengekspresikan bahasa. Hal itu berguna untuk membangun imajinasi dan kreativitas mereka. Dengan begitu, wawasan anak menjadi terbuka terhadap sesuatu yang baru.

Literasi sejak dini akan membantu anak berpikir kritis dan logis dalam menyikapi informasi. Apalagi pada era sekarang ini sebaran informasi yang begitu liar ditambah maraknya semburan berita hoax. Mereka jadi lebih terlatih untuk memilah-milah mana informasi benar-salah dan bermanfaat-tidak penting.

Proses pendidikan literasi kepada anak tak selalu harus melalui lembaga pendidikan. Orang tua bisa mengemasnya ke dalam aktivitas sehari-hari layaknya mereka sedang bermain. Untuk anak pra-sekolah misalnya, salah satu pengenalan literasi yang bisa dilakukan adalah dengan membacakan dongeng.

Mendongeng tak sekadar membacakan sebuah alur cerita, juga membangun relasi keintiman antara orang tua dengan anak. Setidaknya ada enam manfaat mendongeng bagi tumbuh-kembang anak. Manfaat itu antara lain untuk perkembangan kognitif, perkembangan sosial dan emosional, mempererat ikatan anak dan orang tua, mengembangkan daya imajinasi, meningkatkan keterampilan berbahasa dan meningkatkan minat baca. (Kompas.com, 17/06/2018)

Dongeng merangsang imajinasi anak untuk berpikir kreatif. Kita tidak akan pernah bisa membatasi imajinasi mereka. Jika bisa dikelola dan diarahkan dengan baik tentunya hal ini akan menjadi modal yang luar biasa bagi si anak kelak.

(Video di bawah ini adalah contoh dongeng menggunakan wayang kertas.)

Pengenalan literasi lainnya yang efektif kepada anak adalah dengan acara orang tua berperan sebagai role model. Umumnya anak menganggap orang tua sebagai idolanya. Dalam konteks literasi, anak akan meniru apa yang dilakukan orang tuanya baik itu perilaku baik ataupun buruk. Kebiasaan orang tua, baik bapak maupun ibu yang rajin membaca tentu akan menjadi perhatian si anak. Ketertarikan mereka akan muncul ketika melihat orang tuanya sangat enjoy saat membaca buku.

Meski belum terlalu paham apa yang dibacanya namun minat si anak bakal muncul perlahan. Suasana di rumah akan menjadi sangat menyenangkan bila hal itu bisa dicapai. Hal itu juga sekaligus mencegah anak terlibat perbagulan tidak sehat di luar rumah. Apalagi jika di dalam keluarga ada lagi figur lain seperti kakak yang juga gemar membaca. Otomatis minat si anak untuk ingin tahu lebih jauh akan semakin menggebu.

Belajar Sosial

Dalam tataran yang lebih luas, dukungan masyarakat juga memiliki pengaruh yang besar untuk mengembangkan minat literasi anak. Misi para orang tua ini tak akan berjalan dengan baik jika kondisi lingkungannya tidak mendukung.

Menurut teori belajar sosial Bandura (1977), manusia mempelajari sesuatu dengan cara meniru perilaku orang lain. Teori belajar sosial menjelaskan perilaku manusia dalam hal interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan. Seserang belajar melalui pengamatan perilaku orang lain, sikap, dan hasil dari perilaku tersebut.

Jika mereka tumbuh di lingkungan yang rawan kriminalitas maka mereka berpotensi tumbuh menjadi anak yang berperangai keras. Bahkan ada kecenderungan juga mereka jadi ikut-ikutan dengan pola pergaulan anak di sekitarnya.

Begitu juga dalam kultur masyarakat yang angka putus sekolahnya cukup tinggi, motivasi anak di daerah itu untuk bersekolah sangat rendah. Motivasi mereka rendah karena tak ada panutan yang memberikan contoh positif.

Lain halnya dengan suatu lingkungan yang suasananya nyaman untuk belajar anak. Dalam lingkungan seperti itu motivasi anak untuk belajar cenderung tinggi bahkan bermunculan kelompok-kelompok belajar bersama.

Di sinilah peran penting masyarakat dalam membudayakan literasi. Aparatur desa dan tokoh masyarakat bisa membuat inisiatif untuk perubahan. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan, baik secara formal maupun non formal.

Secara formal misalnya adalah dukungan pemerintah desa melalui penyusunan kebijakan tentang jam belajar masyarakat. Pemberlakuan jam belajar akan memberikan edukasi kepada anak-anak tentang nilai-nilai kedisiplinan. Saat jam belajar mereka tidak diperbolehkan lagi berkeliaran di luar rumah yang berpotensi menimbulkan ekses negatif.

Cara lainnya adalah melalui pembuatan kebijakan anggaran Taman Bacaan Anak atau perpustakaan. Sumber anggarannya bisa menggunakan dana desa yang saat ini sedang digencarkan pemerintah. Tak sekadar menyediakan materi buku, juga perlu dibuat klasifikasi buku menurut tingkatan umur anak.

Tidak kalah penting, konsep perpustakaan atau taman bacaan tidak dibuat monoton ataupun hanya mengikuti selera orang dewasa. Untuk itu perpustakaan sebaiknya tidak dibuat sunyi seperti kuburan. Hal itu tidak akan menarik perhatian anak-anak. Tempat tersebut harus menjadi spot belajar dan bermain dengan warna-warni ceria.

Adapun literasi secara non formal bisa dilakukan dengan kearifan lokal yang berlaku di suatu daerah. Salah satu upaya suportif yang bisa diterapkan dalam suatu lingkungan masyarakat adalah memberikan reward kepada anak-anak yang berprestasi.

Ada banyak momentum yang bisa diambil dalam menumbuhkan jiwa kompetitif di kalangan anak-anak. Perayaan hari besar kenegaraan atau keagamaan misalnya, bisa dimeriahkan dengan lomba baca puisi, pidato ataupun lomba karya tulis.

Di sisi lain perlu juga diterapkan sanksi sosial kepada orang tua yang anaknya terlibat dalam kriminalitas maupun penyimpangan-penyimpangan di masyarakat. Sanksi sosial itu akan menjadi warning bagi anak-anak lainnya untuk tidak melakukan sesuatu yang buruk di masyarakat.

Pendidikan literasi memberikan pada akhirnya akan memberikan dampak positif pada prestasi akademik anak. Pola komunikasi dan adaptasinya akan lebih baik dibandingkan dengan anak yang lain. Mereka memiliki kemampuan memecahkan masalah-masalah logis.

Hanya saja, kendala utama memperkenalkan literasi sejak dini kepada anak adalah tak semua orang tua paham manfaatnya. Sebagian di antaranya justru tidak memiliki waktu khusus untuk hal itu.

Akhirnya, semua kembali kepada kemauan orang tua untuk membentuk karakter dan mengarahkan si anak. Jika hanya pasrah dan ikut-ikutan tenggelam oleh dampak buruk penggunaan teknologi, si anak akan terkena imbasnya di kemudian hari.

Sebaliknya jika orang tua peduli dengan tumbuh-kembang anak sejak dini, mereka bisa membentuknya secara terencana. Untuk itu semua orang tua harus memberi contoh model literasi yang baik kepada anak-anaknya dengan pola asuh yang tepat.

Kontroversi “Daun Ajaib” Kratom

Daun Kratom

BELAKANGAN ini publik ra­mai mem­­perbincangkan daun kra­tom yang diduga kuat memiliki kan­du­ngan penyebab kecanduan atau adi­ksi. Efek kratom dianggap sama de­ngan akibat penyalahgunaan nar­kotika. Di sisi lain, sebagian masya­rakat menganggapnya sebagai obat mu­jarab yang mengatasi berbagai masalah kesehatan.

Umumnya tumbuhan yang juga dikenal dengan sebutan “daun ajaib” dari Kalimantan ini dikeringkan se­be­lum dijadikan serbuk seperti bu­buk teh. Serbuk itu kemudian dise­duh dengan air panas dan dinikmati layaknya minum teh.

Berdasarkan cerita yang tersebar di masyarakat, ada banyak manfaat dari seduhan kratom ini. Manfaat uta­manya adalah mendongkrak pro­duktivitas kerja dan mengusir rasa lelah bagi yang sibuk berkerja. Orang yang mengonsumsinya juga per­caya “daun ajaib” ini bisa mengatasi ke­canduan opioid, mengilangkan rasa sakit maupun kecemasan.

Jauh sebelum menjadi trending to­pic di jagad maya dan media elek­tronik, daun kratom telah lama akrab di kalangan masyarakat Kalimantan, ter­­utama Kalimantan Barat. Tana­man ini banyak ditemukan tumbuh liar di kawasan hutan Kapuas Hulu. Selain di Indonesia, vegetasi kratom juga ditemukan di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Malaysia, Myan­mar, dan Thailand.

Karena nilai ekonomisnya yang tinggi, tumbuhan ini dicari bahkan dibudidayakan sebagian petani. Penghasilan yang didapat jauh lebih baik dibandingkan dengan budi daya ko­moditas lain. Tidak hanya untuk konsumsi masyarakat Indonesia, ada juga petani yang mengekspornya ke luar negeri. Pemasarannya bahkan marak melalui media online.

Kratom memiliki nama ilmiah mi­trag­yna speciosa dari famili ru­biaceae. Tinggi pohon ini bisa men­capai 16 meter. Biasanya tumbuh de­ngan baik di daerah aliran sungai. Ciri khasnya adalah daunnya seperti ber­lapis lilin, sehingga terlihat licin. Tulang daunnya berwarna kemera­han. Tumbuhan yang juga dikenal de­ngan sebutan purik atau ketum juga ini memiliki bunga berbentuk bulat bergerigi.

Kandungan zat kratom belaka­ngan ini menjadi kajian menarik para peneliti. Diketahui kratom memiliki bahan aktif alkaloid mitraginin dan 7-hydroxymitragynine yang dapat mem­berikan efek analgesik, an­tiin­flamasi, dan pelemas otot.

Peneliti mengungkap kratom bisa menjadi tanaman medis rekreasi. Kon­sumsi dalam dosis rendah, kra­tom bisa berperan sebagai stimulan serta membantu meningkatkan fo­kus. Namun penggunaan dosis ting­gi, kratom bisa menjadi obat pene­nang yang menghasilkan efek anti­nyeri layaknya candu. Kratom sama ampuhnya seperti morfin dalam hal menghilangkan rasa nyeri. (CNN, 26/12/2016)

Kratom tak hanya menjadi perde­ba­tan di Indonesia saja. Di banyak ne­gara, tumbuhan ini juga menjadi kon­troversi seputar manfaat dan efek negatif yang ditimbulkannya. Di Ame­rika Serikat, sejak 2016 kratom dimasukkan dalam daftar tanaman yang dianggap perlu mendapat pe­ngawasan. Kebijakan tersebut ke­mu­dian dicabut lagi karena menuai protes dari banyak pihak.

Adapun di Indonesia, hingga saat ini daun kratom belum memiliki status hu­kum sebagai zat berbahaya yang bisa menyebabkan adiksi. Da­lam Peraturan Menteri Kesehatan ter­baru yaitu Permenkes nomor 50 Tahun 2018 tentang penggolongan nar­kotika, tak ada tercantum tana­man kratom. Tanaman itu tak masuk di antara 161 jenis narkotika golo­ng­an I, 91 jenis narkotika golongan II, maupun 15 jenis golongan III dalam Permenkes tersebut.

BNN sebagai leading sector bi­dang Pencegahan dan Pemberan­tasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) tak tinggal diam melihat kontroversi kratom di masyarakat. Menurut kajian BNN, efek daun kratom 10 kali lipat lebih berbahaya dibandingkan kokain atau ganja.

Menunggu Permenkes

Karena itu, status kratom perlu di­perte­gas. Deputi Rehabilitasi BNN, Yunis Farida Oktoris, mengatakan pi­hak­nya telah meminta Kemen­terian Kesehatan sebagai pihak yang berwenang menurut UU Nomor 35 Tahun 2009 agar memasukkan daun kratom sebagai narkotika golongan I. (Kumparan,25/7/2019).

Jika nantinya dimasukkan sebagai nar­kotika golongan I, daun kratom akan bernasib sama dengan daun khat atau catha edulis yang meng­ingatkan kita pada kasus Raffi Ah­mad pada tahun 2013. Kala itu Raffi ditangkap petugas BNN karena diduga terlibat dalam pesta narkoba bersama beberapa temannya.

Dalam proses pendalaman, Raffi di­­nyatakan positif mengonsumsi kati­­nona. Raffi mengaku memakai khat untuk menunjang performanya da­lam menghadapi berbagai kesi­bu­kan syuting. Kasusnya menjadi rumit karena pada saat itu zat tersebut ter­nyata belum tercantum dalam lam­piran penggolongan narkotika Un­dang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Karuan saja Raffi tak bisa dijerat me­­­nurut undang-undang tersebut. Ka­sus­nya pun sempat berlarut-larut. Lo­los dari jerat pidana narkotika ak­hir­nya suami Nagita Slavina itu men­jalani rehabilitasi medis di Balai Re­habilitasi milik BNN di Lido, Bogor.

Setahun pasca kasus Raffi akhir­nya lampiran UU nomor 35 Tahun 2009 diperbaiki dengan terbitnya Per­menkes nomor 13 Tahun 2014 ten­tang Perubahan Penggolongan Nar­kotika. Ka­tinona sebagai zat ber­ba­­haya da­lam daun khat dimasukkan sebagai nar­kotika golongan I di poin ke 35. Bahkan pada peraturan pem­ba­­haruan selanjutnya yaitu Permen­kes nomor 2 tahun 2017, tanaman khat juga dimasukkan dalam lam­pi­ran narko­tika golongan I, poin nomor 114.

Sejak saat itu tanaman khat atau lebih dikenal dengan istilah teh arab yang banyak tumbuh di kawasan Puncak, Bogor dilarang untuk dibu­di­dayakan. Seluruh tanaman yang terlanjur sudah dibudidayakan petani harus dimusnahkan. Siapapun yang menanam dan memeliharanya secara ilegal bisa dijerat dengan UU nomor 35 Tahun 2009.

Sesuai dengan ketentuan UU Narkotika pasal 8, narkotika golo­ngan I dilarang dipergunakan untuk ke­pentingan kesehatan. Dalam jum­lah terbatas, narkotika golongan I han­ya dapat digunakan untuk pe­ngem­bangan ilmu pengetahuan – tek­nologi dan untuk reagensia diag­nostik, serta reagensia laboratorium se­telah mendapatkan persetujuan men­teri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makan­an.

Ancaman pidana juga mengintai orang yang nekat membudidaya­kannya. Pasal 111 UU No 35 Tahun 2009 mengatur bahwa setiap orang yang tanpa hak atau melawan hu­kum menanam, memelihara, memi­liki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana penjara 4-12 tahun dan denda Rp 800 juta-Rp 8 miliar.

Bahkan jika kedapatan mela­kukan perbuatan tersebut melebihi 1 kg atau 5 batang pohon, pelaku dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 5-20 tahun. Selain itu juga dikenakan pidana denda maksi­mum ditambah sepertiga sesuai ketentuan pasal 111.

Hal itu juga pernah dialami oleh Fidelis, seorang PNS di Pemkab Sanggau, Kalimantan Barat, yang kasusnya heboh pada 2017. Ia divonis bersalah atas kepemilikan 39 batang ganja yang notabene merupakan narkotika golongan I sebagai bahan pengobatan isterinya yang menderita penyakit langka syringomyeila. Ia menanam tum­buh­an narkotika tersebut di bela­kang rumahnya.

Tak berapa lama setelah ditahan, isteri Fidelis akhirnya meninggal karena tak lagi mendapat pasokan ekstrak ganja untuk pengobatannya. Setelah melalui proses peradilan, Fidelis divonis melanggar Pasal 111 dan 116 UU Nomor 35 Tahun 2009. Ia harus menjalani hukuman dela­pan bulan penjara dan denda Rp 1 miliar subsider satu bulan kurungan.

Berkaca pada kedua hal di atas, penetapan suatu zat atau tanaman tertentu menjadi golongan narkotika akan berdampak terutama bagi kelompok yang mendapat nilai eko­nomisnya. Hanya saja berbeda de­ngan khat yang berasal dari Arab, kratom telah ditetapkan Kemen­terian Lingkungan Hidup dan Kehu­tanan sebagai tanaman endemik di Kalimantan Barat. Perdebatannya diprediksi bakal alot.

Meski begitu, kita juga tidak bo­leh lupa bahwa saat ini hampir 5 juta penduduk Indonesia kecanduan narkoba. Penyalahgunaan narkoba membawa mereka terjerembab pada jurang kehancuran. Mereka teran­cam kehilangan masa depan dan bahkan bisa berakhir dengan ke­matian sia-sia jika tidak direhabi­litasi. Narkoba adalah mesin pem­bunuh nomor satu. Mari kita renung­kan!***.

Oleh: Esdras Idi Alfero Ginting SSos

Penulis adalah penyuluh narkoba, ber­tugas di BNNK Deli Serdang

Tulisan ini dimuat di Harian Analisa Medan, Sabtu 14 September 2019

Versi web bisa dicek di www.analisadaily.com

Download versi e-paper di sini

Ammar Zoni dan Lingkungan Rentan Narkoba

Harian Analisa Medan Edisi Kamis 27 Juli 2017

Tak ada yang menyangka artis rupa­wan yang sedang naik daun, Ammar Zoni, di­tangkap polisi karena ter­sang­kut ma­sa­lah nar­koba. Sangat disa­yangkan ka­rena pesohor sekaligus pesilat ini sebelumnya dikenal cukup aktif kam­pa­nye mengajak gene­rasi muda untuk menjauhi narkoba.

Faktanya, pemeran Boy dalam sine­tron Anak Jalanan ini ter­tang­kap tangan saat mengonsumsi ganja di rumahnya, Depok, bersama adik dan kedua asisten­nya pada 7 Juli lalu. Di dalam kamarnya ditemukan satu toples berisi narkoba jenis ganja seberat 39,1 gram. Kuat dugaan ia telah aktif mengkon­sumsi narkoba baik ganja maupun sabu sejak satu tahun ter­akhir.

Penyidik kepolisian menjerat pesine­tron kelahiran 8 Juni 1993 ini dengan pasal 111 ayat 1 dan pasal 132 ayat 1 UU No­mor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. An­caman pidananya adalah 12 tahun pen­jara. Hal ini sangat disayangkan karena oto­matis akan mematikan karier kekasih Ranty Maria ini yang sedang berada di puncak popularitas jika terbukti bersalah.

Seperti sudah menjadi sebuah tradisi, penangkapan artis karena narkoba selalu bikin heboh. Pertanyaan yang sering meng­emuka adalah mengapa banyak artis yang terjerat nar­koba? Sebenarnya sama saja, tak ada bedanya antara masyarakat umum dengan public figure seperti artis, sama-sama rentan.

Narkoba telah merasuk ke semua ka­langan dan elemen mulai dari kota besar hingga pelosok desa, kelas masyarakat berpen­didikan tinggi hingga terendah, profesi formal maupun infor­mal. Narkoba tak pandang bulu, siapa saja yang men­cobanya bisa terjerat adiksi ter­utama yang terus-menerus menyalah­gu­nakannya.

Artis hanyalah salah satu profesi dari se­kian banyak peker­jaan yang dekat dan ra­wan bersinggungan dengan penyalah­gu­naan narkoba. Kasusnya terasa lebih bom­bastis dibandingkan dengan awam lan­taran predikat melekat sebagai peso­hor yang memiliki nilai berita cukup tinggi di media.

Bahkan terkadang selebriti yang sudah tak terlalu populer pun mendadak tenar lagi karena ada kasus narkoba yang baru. Begitu pula ada beberapa pesohor yang selalu menjadi lang­ganan pemberitaan karena pernah menyalahgunakan narko­ba. Pada akhirnya mereka hanya bisa pas­rah karena faktanya me­m­ang pernah salah langkah.

Tekanan Pekerjaan

Ada beberapa faktor penyebab me­ngapa banyak selebriti terjerat dan ber­urusan dengan narkoba. Pertama, tekanan pe­ker­­jaan. Harus diakui, jam kerja para artis berbeda dengan jenis pekerjaan lain pada umumnya. Para pesohor terutama yang bekerja dalam proyek kejar tayang harus bekerja ekstra bah­kan lembur se­cara terus-menerus.

Di sisi lain penggemar tak pernah tahu dengan rasa letih mereka. Para artis ini tetap dituntut tampil prima dimanapun dan kapanpun di depan publik. Sebagian di antaranya lantas ter­giur dengan iming-iming bahwa narkoba bisa membuat sta­mina tetap bugar.

Padahal stamina prima itu hanyalah ilu­si. Kenyataan yang ada di depan mata, efek adiksi mulai menggerogoti tubuh si pe­sohor. Jika tak segera ditangani maka yang bersangkutan bisa menjadi pencan­du berat.

Kedua, pergaulan. Sebagian besar se­lebriti sadar maupun tidak sebenarnya berada pada pergaulan yang berisiko tinggi. Mereka berteman dengan banyak orang dari berbagai kalangan dan kerap ber­kunjung ke tempat hiburan untuk keperluan kerja ataupun sekadar melepas penat.

Pesohor yang tak bisa menjaga per­gaulan dalam mengejar karier kerap ter­goda. Umumnya hal ini dialami artis pen­datang baru yang mengalami gegar bu­daya (culture shock). Mereka tidak siap dengan culture yang bisa bertolak be­lakang dibanding saat belum menjadi artis. Pergaulan mereka bisa jadi berubah total ketika menjadi terkenal.

Ketiga, materi yang lebih dari cukup. Profesi sebagai artis memang menjanji­kan rupiah yang berlimpah sehingga banyak yang terobsesi terjun menggeluti­nya. Hidup mewah dengan materi yang me­limpah terkadang membuat seseorang jadi lupa diri. Bagi orang yang labil tak ha­nya ketiadaan materi yang bikin bi­ngung, materi berlebih pun bisa me­mu­sing­kan.

Hal ini sekaligus menjadi daya tarik para bandar untuk mendekati mereka. Secara ekonomis, konsumen dari kala­ngan artis jauh lebih menggiurkan. Tidak mengherankan, bermun­culan jaringan pe­ngedar yang khusus menjaring konsu­men dari selebriti.

Keempat, putus asa dan frustrasi. Umumnya hal ini dialami para public fi­gure yang tak lagi mendapat banyak job. Banyak di antaranya yang tidak siap dengan keadaan seperti itu. Dulu mung­kin  artis tersebut dielu-elukan maupun di­kejar-kejar para fans kemanapun dia per­gi, namun sekarang tak ada lagi yang pe­duli. Akibatnya si pesohor terkena post po­wer syndromeyang berujung pada hal-hal destruktif.

Beberapa di antaranya kemudian men­jadikan narkoba seba­gai pelarian. Awal­nya hanya coba-coba fly sejenak untuk me­lu­pa­­kan segala persoalan hidup. La­ma-kelamaan hal itu men­jadi rutinitas dan kebutuhan yang tak bisa lagi dihin­dar­kan. Kar­ier tetap redup, masalah terus me­numpuk dan hidup telah diper­­budak nar­koba.

Menjerumuskan

Keempat faktor tersebut tak selalu berdiri sendiri. Terkadang saling bersing­gu­ngan dan beririsan membentuk sebuah ling­karan. Lingkaran tersebut ibaratnya merupakan suatu lingkaran setan yang menjadi momok menakutkan dan siap menjerumus­kan kaum selebritis yang bermental rapuh.

Meski faktornya bermacam-macam, hasil akhirnya sama yakni berujung pada kehancuran baik karier, keluarga maupun masa depan. Jika dulu mereka merasakan bagaimana panasnya atmosfer dikerubuti para fans, sekarang mereka dibekap di­ngin­­nya udara di balik jeruji akibat per­gu­mulan dengan narkoba.

Tak semuanya memang hancur dan meng­hilang. Beberapa di antaranya justru ber­tobat, bangkit dan kembali berhasil me­niti puncak popularitas. Slank adalah con­toh kecil sebagian musisi yang bisa bang­kit dari keterpurukan karena pe­ngaruh narkoba.

Bimbim dan Kaka sebagai motor penggerak Slank pernah merasakan band yang mereka besarkan hancur berantakan karena narkoba. Tiga rekan mereka yakni Bongky, Indra dan Pay pun akhirnya memilih keluar dan membentuk band BIP karena tak sanggup lagi bekerja sama de­ngan Bimbim dan Kaka yang telah kec­anduan. Saat itu Slank pun terancam bub­ar.

Untungnya Bunda Iffet, ibu Bimbim yang kemudian ber­inisia­tif mengambil alih kursi manajer Slank. Perlahan namun pasti ia berhasil menuntun kembali kedua orang tersebut ke jalan yang benar. Setelah beberapa kali menjalani rehabilitasi akhir­nya Bimbim dan Kaka pulih dan kembali aktif bermusik.

Dengan perjuangan dan disiplin yang keras formasi baru Slank perlahan-lahan kembali menjelma menjadi band yang diper­hitung­kan di tanah air. Bahkan kini band rock tersebut ter­libat aktif dalam kam­panye pencegahan penyalahgunaan dan rehabilitasi bagi pecandu narkotika. Mar­kas besar mereka di Gang Potlot di ka­wasan Duren Tiga, Jakarta Selatan ke­rap didatangi fans yang kecanduan untuk sekadar meminta saran agar bisa pulih.

Dunia keartisan memang menawarkan gaya hidup yang glamor. Namun di balik ge­merlapnya dunia tersebut tersimpan ber­­bagai jebakan negatif termasuk nar­koba. Siapa pun yang terjun ke dalamnya ha­rus bisa menjaga diri sehingga tidak ter­gelin­cir di kemudian hari. Telah banyak contoh buruk bermun­culan yang seharus­nya bisa menjadi pelajaran berharga bagi para artis tersebut.

Ammar Zoni hanyalah satu di antara sekian banyak pesohor yang hidup dalam ling­kungan rawan penyalahgunaan dan per­e­daran gelap narkoba. Jalan satu-sa­tunya adalah mem­bentengi diri dari pe­ngaruh buruk narkoba. Bijaklah dalam per­­gau­lan karena tidak semua yang enak-enak itu baik.

Keluarga dan orang-orang terdekat me­miliki pengaruh signi­fikan dalam menghindarkan seseorang dari pengaruh nar­koba. Mendekatlah kepada keluarga, bu­kan kepada narkoba, jika ingin meraih ke­suksesan dalam hidup.

| Esdras Idi Alfero Ginting S.Sos | @esdrasidialfero | esdras.idialfero@gmail.com |


Tulisan ini dimuat di Harian Analisa Medan, Kamis 27 Juli 2017

Versi web bisa dicek di www.analisadaily.com

Download versi e-paper di sini

Narkoba Ancaman Bonus Demografi

Harian Analisa, Sabtu 29 April 2017

Indonesia sedang memasuki era dimana jumlah dan proporsi penduduk usia produktif yang kian meningkat. Puncak lonjakannya diprediksi akan terjadi pada tahun 2020 hingga tahun 2030 mendatang.

Fenomena unik ini sering disebut dengan istilah bonus demografi. Badan Kependu­dukan & Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendefinisikan bonus demografi seba­gai keuntungan yang dinikmati suatu negara akibat besarnya proporsi penduduk produktif  yakni rentang usia 15-64 tahun dalam evolusi kependudukan yang dialami oleh negara tersebut.

Saat bonus demografi mendatang tiba, jum­lah usia ang­katan kerja produktif di In­donesia akan mencapai 70% dari total po­pulasi. Adapun 30% sisanya adalah penduduk berusia tidak produktif  yaitu usia 14 tahun ke bawah dan di atas 64 tahun.

Menurut buku Proyeksi Penduduk Indo­nesia 2010-2035 yang diterbitkan Ke­men­terian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Badan Pusat Statistik (BPS) dan United Nations Popula­tion Fund (UNFPA) pada tahun 2013, jumlah pen­duduk Indonesia akan bertambah menjadi 271,1 juta jiwa pada 2020. Jika persentase bonus demografi dihitung ber­dasarkan angka proyeksi maka jumlah penduduk usia produktif tiga tahun yang akan datang diperkirakan mencapai 189,7 juta jiwa.

Meskipun BKKBN mendefenisikan fe­nomena kependu­dukan itu sebagai sebuah keuntungan namun hal itu juga bisa menim­bulkan kerugian bahkan bencana. Di satu sisi, bonus demografi memberi keuntu­ngan karena melimpahnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang produktif. Namun di sisi lain, bencana siap mengintai apabila ang­katan kerja yang melimpah itu tidak berkualitas baik.

Penduduk usia produktif yang tidak berada dalam per­forma terbaiknya tentu akan tersisih. Ketidaksiapan baik secara fisik dan mental akan membuat angkatan kerja ke­sulitan bersaing. Ujung-ujungnya akan mun­cul permasalahan serius yaitu terjadinya pengangguran besar-besaran yang mem­bebani negara.

Faktor narkoba

Narkoba adalah salah satu faktor yang mem­buat performa usia produktif menjadi tidak prima. Seseorang yang kecan­duan narkoba akan kehilangan kendali atas dirinya sendiri dan tak lagi berpikir soal masa depan. Efek adiksi memaksa dirinya hanya berkutat dalam memuaskan dahaga me­ngonsumsi narkoba.

Saat ini narkoba memang menjadi salah satu tantangan terbesar bagi negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Badan Nar­kotika Nasional (BNN) bekerja sama dengan Puslitkes Uni­versitas Indonesia (UI) Tahun 2015 tentang Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di In­donesia, diketahui bahwa angka prevalensi penyalah­guna Narkoba di Indonesia telah mencapai 2,20% atau sekitar 4.098.029 orang dari total populasi penduduk (berusia 10-59 tahun). Sebanyak 35-50 orang meninggal sia-sia setiap hari akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba baik secara langsung maupun tidak.

Menurut survei tersebut, persentase penyalahguna berdasarkan latar belakang pekerjaan masing-masing adalah 50,34% pekerja, 27,32% pelajar dan mahasiswa, serta 22,34% pengangguran. Data tersebut tentu menjadi warning bagi bangsa kita agar lebih serius dalam menangani persoalan penyalah­gunaan dan peredaran gelap narkoba. Narkoba kini menjadi musuh bangsa nomor satu karena telah merasuk ke semua elemen masyarakat.

Di dalam lingkungan pendidikan, marak­nya penyalah­gunaan narkoba akan meng­hasilkan generasi muda yang diperbudak adiksi. Pelajar yang telah kecanduan narkoba tak bisa lagi belajar secara maksimal. Biasa­nya terjadi pe­nurunan prestasi yang signifikan disertai dengan per­ubahan sikap dan prilaku mengarah pada hal-hal negatif.

Ancaman terbesar penyalahgunaan nar­koba terhadap kalangan pelajar dan maha­siswa secara massif adalah terja­dinya feno­mena lost generation atau generasi yang hi­lang di masa yang akan datang. Padahal gene­rasi muda yang ada saat ini seharusnya menjadi tulang punggung yang mem­berikan kontribusi penting pada era bonus demografi nanti.

Adapun dalam dunia kerja, pecandu ibarat duri dalam da­ging. Jika angka penyalah­gunaan narkoba dalam suatu institusi tinggi maka produktivitas pekerja akan menurun. Ritme kerja juga jadi terganggu karena dampak nar­koba tidak hanya menghancurkan si pecandu tetapi juga rekan kerjanya yang lain. Efek lainnya adalah tingginya angka ke­celakaan kerja. Oleh karena itu, institusi maupun peru­sahaan wajib memastikan pe­kerjanya terbebas dari penyalah­gunaan narkoba.

Pencegahan

Untuk memastikan usia produktif tidak terjerumus, se­tidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Pertama, pencegahan. Upaya pencegahan dituju­kan bagi orang-orang yang sama sekali belum bersentuhan dengan narkoba. Kelompok ini harus dijaga tetap bersih melalui diseminasi informasi Pencegahan dan Pembe­ran­tasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN). Dengan begitu mereka akan tahu, sadar, dan paham bahaya narkoba sehingga memiliki daya tangkal (imun).

Komunitas masyarakat yang imun men­cegah munculnya kampung narkoba yang marak akhir-akhir ini. Kampung nar­koba biasa­nya muncul karena tidak ada kepedulian kelompok masyarakat terhadap kondisi di lingkungannya. Sebagian kelom­pok masya­ra­kat yang lain justru men­da­patkan manfaat dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di wilayahnya. Adanya kesa­daran masyarakat bisa meredam kemun­culan kampung narkoba sejak dini.

Kedua, rehabilitasi. Rehabilitasi di­arahkan bagi orang-orang yang sudah terkontaminasi narkoba baik bagi yang coba pakai, teratur pakai maupun pecandu berat. Mendiam­kan atau menyembuyikan mereka bukan solusi karena jus­tru akan berdampak negatif bagi keluarga maupun masya­ra­kat. Mereka harus diberi kesempatan untuk pulih. Rawat jalan ditujukan bagi pencadu yang masih dalam tahap coba pakai sedangan rawat inap bagi teratur pakai dan pecandu berat.

Rehabilitasi sukarela adalah pilihan terbaik bagi pecandu yang ingin lepas dari jerat narkoba. Dibutuhkan kesa­daran baik bagi si pecandu maupun ke­luarga untuk melaporkan diri. Hal itu sekaligus untuk menghindari mere­ka berurusan dengan hukum karena pa­da dasarnya penyalahgunaan nar­koba merupakan tindakan pidana. Jika tertangkap tangan menyalahgunakan narkoba secara ilegal disertai dengan barang bukti yang menyakinkan maka hukumannya bisa sangat berat.

Ketiga, pemberantasan.  Upaya pem­be­rantasan bertujuan untuk me­mutus mata rantai peredaran gelap nar­koba. Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polri telah bekerja keras da­lam mengungkap jaringan narkoba yang beroperasi di Indo­nesia. Peng­ungkapan demi pengungkapan terus dila­kukan namun tetap tak membuat para mafia narkoba kapok. Mereka se­lalu menggunakan modus yang beru­bah-ubah untuk me­ngelabui petugas.

Peran serta masyarakat dalam bi­dang pemberantasan sangat dibutuh­kan. Masyarakat bisa membantu teru­tama dalam memberikan informasi ada­nya peredaran gelap nar­koba di wi­la­yah masing-masing. Pengung­ka­pan jaringan narkoba selama ini domi­nan berasal dari laporan awal dari ma­syarakat.

Upaya pencegahan, rehabilitasi dan pemberantasan yang berkesinam­bungan diharapkan bisa menjadi ben­teng dalam meminimalkan penyalah­gunaan dan peredaraan gelap narkoba. Dengan begitu bonus demografi tidak menjadi bencana bagi bangsa kita.

Indonesia terancam kehilangan ge­nerasi muda akibat ting­ginya pengguna narkoba usia produktif. Narkoba juga sudah membunuh banyak generasi mu­da. Jangan sampai kita jadi tidak produktif gara-gara penyalahgunaan nar­koba.

| Esdras Idi Alfero Ginting S.Sos | @esdrasidialfero | esdras.idialfero@gmail.com |


Tulisan ini dimuat di Harian Analisa Medan, Sabtu 29 April 2017

Versi web bisa dicek di www.analisadaily.com

Download versi e-paper di sini

Pangeran Dangdut Melawan Narkoba

Kolom Opini Harian Waspada 5 April 2017

Penyanyi dangdut Ridho Rhoma bersama seorang temannya ditangkap polisi terkait kasus kepemilikan narkotika jenis sabu seberat 0,76 gram di sebuah hotel di kawasan Jakarta Barat, Sabtu (25/3/2017) sekitar pukul 04.00 WIB. Polisi turut mengamankan sejumlah barang bukti lainnya yaitu satu set alat isap sabu, satu unit mobil, tiga unit handphone, satu buah bong, dan sebuah tutup botol.

Polisi pun kemudian melakukan penahanan terhadap Ridho terhitung sejak Senin (27/3/2017). Untuk urusan penahanan, penyidik kepolisian menggunakan pasal 24 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP sehingga jangka waktu penahanan maksimal adalah 20 hari.

Pihak keluarga pun langsung berinisiatif mengajukan rehabilitasi. Penyidik sepertinya tidak keberatan dengan permintaan keluarga Sang Pangeran Dangdut tersebut. Hal itu ditandai dengan keputusan penyidik mengarahkan Ridho untuk menjalani pemeriksaan narkoba di Laboratorium BNN, di Cawang, Jakarta Timur.

Sebelumnya pihak Polres Jakarta Barat sudah terlebih dahulu melakukan tes urine dan menyatakan Ridho positif mengonsumsi zat metamfetamin. Namun hasil tes urine saja tidak cukup sebagai pertimbangan untuk rehabilitasi. Ridho juga harus menjalani serangkaian tes lainnya meliputi darah dan rambut. Rangkaian tes itu bertujuan untuk mengetahui tingkat dan lama pemakaian yang bersangkutan apakah sudah kronis atau belum.

Empat Tahun

Keberadaan barang bukti narkotika Golongan I saat penangkapan membuat Ridho tidak serta-merta bisa langsung direhabilitasi. Apalagi penyidik menjeratnya menggunakan pasal 112 ayat (1) sub pasal 127 Jo pasal 132 ayat (1) UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Jika mengacu pada pasal 112 ayat 1 UU No 35 Tahun 2009 Ridho terancam dipidana dengan pidana penjara 4-12 tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta. Adapun pasal 127.

Dalam berbagai kasus termasuk yang menimpa artis atau selebriti, jerat pasal 112 ayat 1 kerap tak terhindarkan. Pasal ini menjerat orang-orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman. Hukuman penjara tentu bisa menghancurkan karier Ridho yang saat ini sedang berada di puncak.

Meski begitu, Ridho masih memiliki kesempatan untuk memulihkan diri dari jerat narkoba. Apalagi jika nantinya dia dikategorikan sebagai korban penyalahgunaan. Menurut ketentuan Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Proses hukum tetap berjalan namun jika permintaan keluarga dipenuhi oleh penyidik maka Ridho bisa segera direhabilitasi untuk menghilangkan ketergantungannya terhadap narkoba. Penyidik dalam memenuhi permintaan keluarga bisa mempertimbangkan ketentuan dalam pasal 4 ayat 2 Peraturan Kepala (Perka) BNN Nomor 1 Tahun 2014 tentang tata cara penanganan tersangka dan/atau terdakwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi.

Dalam Perka BNN itu disebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai tersangka yang ditangkap atau tertangkap tangan dan terdapat barang bukti dengan jumlah tertentu serta terbukti positif memakai Narkotika sesuai hasil tes urine, darah, rambut dan/atau DNA, selama proses peradilannya berlangsung dalam jangka waktu tertentu dapat ditempatkan di lembaga rehabilitasi yang dikelola oleh pemerintah, setelah dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Hasil Laboratorium dan Berita Acara Pemeriksaan oleh Penyidik Polri atau Penyidik BNN dan telah dilengkapi dengan rekomendasi hasil asesmen Tim Asesmen Terpadu.

Tim Asesmen Terpadu (TAT) memiliki peran yang besar dalam menentukan status hukum pelantun “Menunggumu” tersebut. TAT memiliki kewenangan untuk melakukan analisis peran seseorang yang tertangkap, menentukan kriteria tingkat keparahan penggunaan narkotika serta merekomendasi rencana rehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.

TAT terdiri atas dua tim yakni tim dokter yang meliputi dokter dan psikolog yang telah memiliki sertifikasi asesor dari Kementerian Kesehatan serta tim hukum yang terdiri dari unsur Polri, BNN, Kejaksaan dan Kemenkumham. Tim dokter bertugas melakukan asesmen dan analisis medis, psikososial serta merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi penyalah guna narkotika. Adapun tim hukum bertugas melakukan analisis dalam kaitan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dan penyalahgunaan narkotika berkoordinasi dengan penyidik yang menangani perkara.

Nantinya setelah menerima hasil pemeriksaan darah dan rambut Ridho dari Laboratorium BNN, tim langsung bekerja. Menurut ketentuan dalam Perka BNN, Tim Asesmen ini memiliki waktu maksimal enam hari untuk mengeluarkan rekomendasi. Rekomendasi hasil asesmen kemudian diserahkan kepada Penyidik untuk dilaporkan secara tertulis kepada Pengadilan Negeri setempat. Rekomendasi ini nantinya sebagai pegangan penyidik untuk memutuskan apakah tersangka perlu direhabilitasi atau tidak.

Jumlah barang bukti sabu saat tertangkap akan menjadi salah satu pertimbangan TAT. Sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi disebutkan bahwa penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 103 UU no 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang tertangkap tangan dengan barang bukti pemakaian satu hari yakni kelompok metamfetamin (sabu) seberat 1 gram. Adapun barang bukti narkotika golongan I kelompok metamfetamin hasil tangkap tangan dalam kasus Ridho hanya seberat 0,76 gram atau masih di bawah ambang batas pemakaian satu hari.

Di sisi lain, pengakuan Ridho yang mengatakan bahwa dirinya sudah menjadi penyalah guna narkoba sejak dua tahun terakhir akan diasesmen secara lebih mendalam lagi. Dari hasil asesmen tim dokter akan menyimpulkan tingkat keparahan Ridho apakah masih dalam tahap coba pakai, teratur pakai ataukah pecandu berat.

Dari pengakuannya tersebut kemungkinan besar Ridho bukan lagi sebagai penyalahguna tahap coba pakai. Pecandu yang dikategorikan pecandu teratur pakai maupun pecandu berat tidak direkomendasikan untuk rawat jalan apalagi perawatan di rumah tahanan.

Faktor penentu lainnya adalah ada-tidaknya keterlibatan Ridho dalam jaringan narkoba. Jika dia terlibat secara aktif dalam jaringan yang diduga memasok narkoba untuk para artis yang sedang didalami pihak kepolisian maka peluangnya lolos dari TAT sangat berat. Namun jika dia dinyatakan clear dan tidak terlibat dalam jaringan maka itu akan menjadi data penguat bagi tim.

Andaikan gagal saat masih dalam proses penyidikan, Ridho masih berpeluang direhabilitasi meskipun divonis bersalah oleh pengadilan. Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutus dan memerintahkan yang bersangkutan direhabilitasi jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Apalagi jika pasal yang didakwakan kepadanya adalah pasal 127 ayat 1 maka rehabilitasi akan dijadikan sebagai hukuman pengganti.

Merujuk pada kasus Ridho Rhoma ini terlihat bahwa betapa pentingnya kesadaran bagi para pecandu untuk melaporkan diri sehingga bisa langsung direhabilitasi tanpa perlu menjalani proses hukum terlebih dahulu. Pengajuan rehabilitasi setelah tertangkap tangan walau memungkinkan namun membutuhkan proses yang cukup rumit. Meski bisa direhabilitasi, ancaman hukuman penjara tetap mengintai apalagi jika barang bukti di atas ambang batas pemakaian sehari.

Padahal efek adiksi seperti dialami Ridho yang sudah kecanduan selama dua tahun terakhir membutuhkan penanganan segera. Adiksi sesungguhnya sudah merupakan suatu hukuman yang sangat berat. Bahkan ada kasus adiksi yang terlambat ditangani berujung pada kematian.

Hal ini tentu juga perlu menjadi perhatian bagi kita semua betapa pentingnya peran keluarga dalam mencegah penyalahgunaan narkoba di kalangan anak muda. Jangan sampai ada kejadian keluarga justru jadi orang terakhir yang mengetahui anaknya adalah penyalahguna narkoba.

| Esdras Idi Alfero Ginting S.Sos | @esdrasidialfero | esdras.idialfero@gmail.com |

Dimuat di Harian Waspada Medan Sabtu 4 Februari 2017

Download E-papernya di sini

Urgensi Tes Narkoba Bagi Calon Pengantin

Kolom Wacana Harian Medan Bisnis 5 April 2017

Pernikahan merupakan momentum paling ditunggu-tunggu pasangan yang sedang dimabuk asmara. Idealnya setelah pernikahan, kehidupan kedua mempelai menjadi bahagia, dinamis dan pernuh warna. Masalah-masalah yang timbul dalam rumah tangga seperti percekcokan merupakan hal wajar. Orang-orang menganggapnya sebagai bumbu penyedap dalam rumah tangga. Pertengkaran justru kadang membuat rumah tangga makin romantis dan hangat.

Namun ada kalanya kondisi ideal itu sulit diraih. Alih-alih romantis, kadang situasi rumah tangga tak ubahnya seperti neraka. Percekcokan terus terjadi sehingga memicu keduanya saling menyakiti. Bahkan pertengkaran juga sering diikuti tindak kekerasan fisik atau yang biasa disebut KDRT.

Ada banyak faktor pemicu terjadinya KDRT. Salah satunya adalah karena penyalahgunaan narkoba. Umumnya memang penyalahguna narkoba memang lebih tempramental menjurus kasar. Efek adiksi narkoba membuat seseorang jadi abai terhadap segala hal. Pemikiran pecandu itu sehari-harinya hanya berkutat untuk memenuhi dahaga adiksinya.

Tak banyak pasangan yang bisa bertahan menghadapi kondisi seperti itu. Kesabaran seseorang pasti ada batasnya apalagi jika sudah menyangkut kekerasan fisik bahkan penelantaran. Ujung-ujungnya terjadi perceraian.

Bubarnya suatu rumah tangga karena narkoba biasanya disebabkan ketidaktahuan si pasangan. Andaikan saja telah mengetahui bahwa calon pasangannya adalah pecandu, kemungkinan besar ia akan berpikir ulang. Bisa saja dia jadi ragu meneruskan hubungan ke jenjang pernikahan.

Coba-coba

Ketidaktahuan seringkali juga menimpa orang tua pecandu. Sebenarnya keluarga bisa mencegah jika jeli dalam membaca situasi. Seorang penyalahguna  tidak ujug-ujug menjadi pecandu berat. Ada proses yang ditandai dengan perubahan fisik dan psikis. Proses penyalahgunaan narkoba memiliki pola tertentu yang diawali dengan coba-coba (eksperimental), rekreasional, situasional, dan berakhir dengan kecanduan (adiksi).

Ciri fisik dan psikis inilah yang perlu diperhatikan. Secara fisik, pecandu umumnya kurus, wajah pucat dan bermunculan flek hitam, pipi semakin cekung, hidung meler, gigi rusak dan menghitam, mata memerah, bicara pelo, dan keringat berlebih. Adapun dilihat dari segi psikisnya, penyalahguna cenderung agresif dan kasar, sensitif, paranoid, dan anti sosial.

Upaya mencegah jauh lebih baik dari pada mengobati. Sebelum calon pengantin terlanjur menjadi pecandu berat, pihak keluarga bisa mengambil suatu tindakan. Jika ditemukan ciri-ciri seperti yang sudah disebutkan di atas tak ada salahnya jika dilakukan tes urine kepada yang bersangkutan. Semua itu demi kebaikan dirinya dan calon pasangannya kelak.

Lembaga keagamaan juga memiliki peran yang strategis dalam menyosialisasikan tes narkoba bagi calon pengantin. Hasil pemeriksaan urine tersebut bisa dijadikan sebagai salah satu rujukan atau berkas pelengkap untuk pernikahan. Meskipun tak diatur dalam undang-undang namun tes urine sebelum pernikahan juga tak bertentangan dengan aturan yang ada.

Tes urine bisa dilakukan di kantor BNN terdekat secara transparan. Hasil tes bisa diketahui pada hari itu juga. Lantas bagaimana jika hasil tes urine calon mempelai ternyata positif? Apakah pernikahan mereka harus dibatalkan? Semua tergantung kepada si calon mempelai maupun keluarga besarnya. Pernikahan bisa tidak perlu dibatalkan tetapi ditunda sementara. Tujuannya adalah memberi kesempatan kepada si pecandu menjalani rehabilitasi medis maupun sosial.

Rehabilitasi

Rehabilitasi suka-rela adalah solusi paling baik bagi pecandu yang ingin berubah. Keluarga hendaknya proaktif dan bukannya menyembunyikan kenyataan tersebut. Tak perlu menganggap pecandu sebagai aib karena itu tidak menyelesaikan masalah.

Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, penyalahgunaan narkotika merupakan tindakan pidana. Pasal 127 menyebutkan bahwa penyalahguna narkotika golongan I  dipidana maksimal 4 tahun, sedangkan golongan II maksimal 2 tahun, dan golongan III maksimal 1 tahun.

Tindakan rehabilitasi juga sebagai upaya pencegahan agar yang bersangkutan tidak terjerat masalah hukum. Perlu diketahui, rehabilitasi tidaklah seperti penjara. Selain memulihkan kecanduan, peserta rehab juga dibekali keahlian praktis yang kelak bisa dijadikan sebagai mata pencaharian alternatif. Dengan begitu orang yang telah pulih dari adiksi bisa lebih siap berumah tangga.

Dari uraian di atas jelas bahwa pernikahan sekadar bermodal cinta tak cukup. Kesiapan kedua calon mempelai secara fisik dan psikis juga diperlukan. Tak ada salahnya jika kedua calon melakukan tes urine secara sukarela. Hal itu dilakukan demi kebaikan mereka juga.

 

| Esdras Idi Alfero Ginting S.Sos | @esdrasidialfero | esdras.idialfero@gmail.com |

Dimuat di Kolom Wacana Harian Analisa, Edisi Rabu, 5 April 2017

Download versi epaper/pdf di sini

Narkoba (Tak) Seheboh Isu Penculikan Anak

Kolom Opini Harian Analisa

Akhir-akhir ini marak informasi berseliweran terutama di media sosial  tentang kasus penculikan anak di berbagai daerah. Informasi yang beredar, para penculik sering melakukan penyamaran dalam menjalankan aksinya sehingga membuat si calon korban maupun pihak sekolah terkecoh. Disebutkan juga bahwa para pelaku bisanya berpura-pura menjadi gila ketika kedoknya terbongkar.

Kehebohan tersebut diperkuat dengan terjadinya penangkapan pelaku penculikan anak yang dilakukan oleh masyarakat bermunculan di jejaring sosial terutama Facebook. Dalam info yang dibagikan ramai-ramai para netizen itu disebutkan pelaku yang umumnya perempuan ataupun laki-laki menyamar menjadi perempuan tampak bengong menjadi tontonan saat tertangkap.

Kekhawatiran orang tua makin menjadi-jadi ketika diungkapkan bahwa anak-anak yang diculik banyak yang tak kembali. Menurut informasi yang beredar anak-anak korban penculikan ini akan dijual organ tubuhnya dengan harga yang sangat mahal.

Berita mengenai penculikan anak dan organnya dijual ini menjadi topik yang sangat viral. Disertai foto-foto kondisi korban yang sangat mengerikan menimbulkan interpretasi yang beragam bagi para orang tua.

Imbasnya, di berbagai tempat terjadi penganiayaan orang-orang yang disangka sebagai penculik. Padahal yang diduga sebagai penculik anak itu adalah benar-benar orang gila. Kejadian seperti itu bukan lagi isu dan benar-benar terjadi di beberapa daerah. Informasi yang belum terverifikasi ini telah membuat para orang tua pontang-panting.

Di sisi lain, bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di kalangan anak-anak yang jelas-jelas nyata di depan mata tapi tak seheboh kasus penculikan. Padahal korban yang berjatuhan sudah banyak. Bahkan karena maraknya penyalahgunaan dan peredaran gelap, negara kita sekarang dalam kondisi darurat narkoba.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerja sama dengan Puslitkes Universitas Indonesia (UI) Tahun 2015 tentang Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia, diketahui bahwa angka prevalensi penyalahguna Narkoba di Indonesia telah mencapai 2,20% atau sekitar 4.098.029 orang dari total populasi penduduk (berusia 10 – 59 tahun). Sebanyak 35-50 orang meninggal sia-sia setiap hari akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba baik secara langsung maupun tidak.

Penculikan anak ini memang sangat mengerikan, tetapi penyalahgunaan narkoba tak kalah menakutkan. Belakangan ini para pengedar narkoba menggunakan berbagai cara untuk menjaring pasar dari kalangan belia.

Penyalahgunaan narkoba di kalangan anak jauh lebih mengkhawatirkan dari yang kita duga. Penyesatan anak melalui narkoba sebenarnya merupakan sebuah upaya sistematis yang dilakukan oleh para penjahat narkoba. Tujuannya jelas, agar si anak bisa menjadi konsumen loyal dalam waktu yang lama. Syukur-syukur si anak bisa diperalat menjadi kurir maupun pengedar di kemudian hari.

Teman Sebaya

Sama seperti kasus penculikan yang menggunakan cara-cara terorganisir, para bandar dan mafia narkoba juga tak kalah cerdik. Mereka mengelabui anak-anak dengan berbagai cara. Para penjahat ini tak lagi tampak sebagai sosok yang menyeramkan sehingga membuat anak-anak menjadi takut. Mereka kadang menggunakan anak-anak juga sebagai umpan untuk menjerat anak lainnya.

Mereka paham benar bahwa anak-anak sangat tergantung pada teman sebayanya (peer group). Dalam kasus penculikan anak-anak yang berbaur dengan teman sepermainannya relatif lebih aman tapi dalam penyalahgunaan narkoba tak ada jaminan. Jika penculik umumnya mengincar anak-anak yang sendirian, bandar narkoba justru bisa mengincar anak-anak dalam satu geng/kumpulan sekaligus.

Para bandar menanamkan doktrin kepada anak-anak yang dianggap memiliki pengaruh kepada teman-temannya untuk dijadikan sebagai kurir maupun pengedar. Si anak inilah yang kemudian menyebarkan pengaruh negatif kepada kawan-kawannya yang lain. Berdalih sebagai bagian dari pergaulan, mulailah dia mencekoki teman-temannya yang lain.

Modus lain yang tak kalah mengerikannya adalah peredaran narkoba yang telah dicampur ke dalam makanan. Umumnya jajanan terutama permen tersebut diedarkan di sekitar sekolah. Dari tampilan kemasan maupun isinya tak ada bedanya permen narkoba dengan permen asli. Hanya saja setelah mengonsumsinya akan terjadi perubahan prilaku pemakainya. Jika si anak rutin mengonsumsinya maka ia akan kecanduan.

Baik guru di sekolah maupun orang tua di rumah kerap tak menyadari hal ini. Apalagi gejala-gejala awal anak-anak korban penyalahgunaan narkoba tak terlalu nampak baik secara fisik maupun psikis. Tak ada perbedaan secara kasat mata antara anak normal dengan korban penyalahgunaan narkoba yang masih dalam fase coba pakai.

Seringkali orang tua justru menjadi orang terakhir yang mengetahui anaknya telah menjadi pecandu narkoba. Si anak ketahuan menjadi korban penyalahgunaan justru ketika kondisinya sudah memprihatinkan yakni menjadi pecandu berat.

Berbeda dengan kasus penculikan, dalam penyalahgunaan narkoba si anak secara fisik memang tidak hilang. Hanya saja dari sisi mental, prilaku, kesehatan dan tumbuh kembang anak menjadi sangat terganggu. Jika orang tua tidak menyadari hal itu maka masa depannya bisa hancur bahkan bisa berujung pada kematian.

Selektif

Jika isu penculikan yang belum pasti kebenarannya membuat kita gempar, mengapa penyalahgunaan narkoba di kalangan anak sepertinya biasa-biasa saja? Narkoba itu adalah mesin pembunuh massal dan jelas itu bukan merupakan hoax. Sudah sewajarnya jika upaya pencegahan sejak dini diajarkan kepada anak-anak.

Salah satunya adalah dengan selektif dalam memilih jajanan di sekolah. Jajan sembarangan akan membuat anak-anak rentan mengonsumsi makanan yang terkontaminasi narkoba. Bila perlu, batasi uang jajan jangan sampai berlebih untuk meminimalkan potensi tersebut. Bila perlu anak-anak dibekali ransum dari rumah. Selain lebih hemat, dipastikan menunya lebih bergizi.

Anak-anak juga perlu diajarkan tentang pergaulan yang sehat dan bertanggung jawab sejak dini. Seperti sudah disebutkan di atas faktor tekanan peer group sangat mempengaruhi sangat mempengaruhi keseharian si anak. Jika dia bergaul dengan pecandu narkoba, bisa saja kelak si anak juga tertular.

Tidak kalah penting, aktivitas keseharian anak perlu dipantau secara intensif. Saat si anak berada di sekolah bukan berarti tanggung-jawab sepenuhnya ada di tangan para guru. Komunikasi merupakan salah satu kunci dalam mengontrol aktivitas mereka.

Ingat, narkoba adalah ancaman nyata bagi anak-anak kita dan itu bukan hoax.

 

| Esdras Idi Alfero Ginting S.Sos | @esdrasidialfero | esdras.idialfero@gmail.com |

Dimuat di Kolom Opini Harian Analisa, Edisi Jumat, 24 Maret 2017

Download versi epaper/pdf di sini

Bayi Terpapar Narkoba, Rapuhnya Peran Keluarga

Kolom Opini Harian Waspada

Peristiwa memilukan terjadi di Kalimantan Tengah baru-baru ini. Seorang bayi perempuan yang baru berusia lima bulan dinyatakan potitif terdampak narkoba jenis sabu. Bayi malang tersebut kecanduan narkoba karena rutin mengonsumsi Air Susu Ibu (ASI) ibunya yang merupakan penyalahguna sabu.

Ibu si bayi diketahui adalah istri seorang pengedar yang ditangkap di sebuah kios miliknya bersama seorang rekannya di Jalan Tjilik Riwut, Palangka Raya. Barang bukti yang disita berupa 8 paket sabu dengan berat kotor 5,5 gram, uang tunai sejumlah Rp. 1 juta, 1 timbangan, 1 bungkus plastik klip, 1 sendok dari sedotan, 2 telepon genggam, 2 bong dan 1 mancis.

Ayah balita tersebut diketahui dengan sengaja memberikan sabu kepada istrinya yang berusia 22 tahun. Akibatnya si istri menjadi kecanduan berat. Mereka terbiasa mengonsumsi sabu secara bersama-sama. Parahnya, saat menggelar pesta narkoba, si bayi juga biasa diletakkan di dekat mereka.

Pada saat penggerebekan, petugas BNN awalnya hanya berniat memeriksa urine pasangan suami-istri tersebut. Namun, saat pemeriksaan tengah berlangsung si bayi ternyata sangat rewel, gelisah, dan sering menangis tidak jelas. Suhu tubuhnya pun cukup tinggi.

Bayi pada umumnya secara naluriah memang akan menangis ketika lapar atau haus. Namun sikap gelisah dan rewelnya yang tidak wajar itu karena efek adiksi yang telah menimpanya dalam usia masih sangat belia.

Petugas pun menjadi curiga dan lantas berinisiatif  mengecek urine balita itu. Ternyata hasil tes urine menunjukkan si bayi juga positif terpapar narkotika jenis sabu. Temuan yang membuat miris ini bisa jadi merupakan yang pertama kali terungkap.

Akibat kedua orang tuanya telah diperbudak oleh narkoba, si anak ikut terkena dampak buruknya. Karena sang ibu memakai sabu maka zat yang telah masuk dalam tubuhnya kemudian juga berdampak pada sang anak yang ditularkan melalui ASI yang disusukan.

Reaksi sabu pada anak yang tertular melalui ASI lebih cepat dan lebih mengerikan dibanding saat orang dewasa yang menghisap langsung. Metamfetamin, istilah lain sabu, memang dapat dikeluarkan melalui air susu ibu ke bayi dalam jumlah besar. Tidak mengherankan jika American College of Obstetric & Gynecology melarang penggunaan metamfetamin pada pecandu yang menyusui.

Jarak antara menyusui dengan dosis terakhir metamfetamin harus setidaknya 48 jam. Konsentrasi narkotika jenis ini mencapai 2,5 x lebih banyak saat dikeluarkan di air susu daripada jumlah di dalam cairan tubuh ibu. Bahkan pernah juga terjadi kasus kematian bayi setelah menyusu dari ibu pengguna metamfetamin.

Hukuman Berat

Sang suami sudah sangat wajar diberikan sanksi hukum yang berat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sudah tepat bila penyidik mengganjarnya dengan pasal 114 ayat 1 jo pasal 112 ayat 1 jo pasal 132 ayat 1. Ancaman hukuman pidana yang bisa menjeratnya sesuai pasal tersebut adalah penjara seumur hidup, atau penjara 5-20 tahun dan pidana denda Rp 1 miliar –Rp 10 miliar.

Hukumannya bahkan seharusnya bisa lebih berat jika disangkakan juga dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang  Nomor 23 tentang Perlindungan Anak. Tindakan sang suami yang mencekoki istrinya narkoba merupakan tindakan kekerasan fisik dan psikis. Akibat tindakan biadapnya itu si anak juga menjadi kecanduan narkoba meski usianya masih sangat muda.

Lantas bagaimana dengan sang istri? Status hukumnya perlu mendapat kejelasan dari Tim Asesmen Terpadu (TAT) yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, BNN, dan medis. Dari rekomendasi TAT akan bisa diketahui apakah si istri terlibat jaringan ataukah sebatas korban penyalahgunaan. Jika terlibat dalam jaringan maka yang bersangkutan juga harus diproses hukum. Namun jika TAT menyimpulkan si ibu sebagai korban penyalahgunaan maka dia harus direhabilitasi baik secara medis maupun sosial.

Persoalannya adalah ia memiliki seorang bayi yang masih sangat membutuhkan kasih sayangnya. Rehabilitasi setidaknya membutuhkan waktu paling singkat selama tiga bulan. Di sisi lain, si bayi juga tak layak terus-menerus disusui dengan ASI yang terkontaminasi narkoba. Membiarkan si bayi tetap menyusu kepada ibu kandungnya sama saja dengan tetap mencekokinya dengan zat haram.

Keprihatian kita justru membuncah kepada bayi mungil yang tak berdosa tersebut. Dia tidak tahu apa-apa mengenai sepak terjang kedua orang tuanya dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Dia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis ketika efek adiksi narkoba sedang menyiksanya.

Bahkan bukan tidak mungkin bayi juga terkena efek lepas obat (sakaw) saat dihentikan pemberian ASI-nya. Beberapa kemungkinan penyakit juga bisa memilki dampak langsung adalah susah tidur, tremor, dan muntah-muntah.

Peneliti dari Inggris menyebutkan selain berpotensi cacat, bayi yang terpapar narkoba sejak masih dalam kandungan juga memiliki risiko tinggi mengalami gangguan psikotik (kelainan jiwa). Bayi mungil tersebut sangat memerlukan penanganan khusus.

Pelajaran Penting

Dari kejadian ini beberapa pelajaran penting bisa ditarik. Pertama, betapa rapuhnya rumah tangga yang telah dibumbui narkoba. Ibaratnya rumah tangga seperti itu sudah di ambang kehancuran. Bila si suami jadi pengedar atau bandar penghasilannya memang akan menggiurkan tapi hukuman berat mengintai sewaktu-waktu. Namun begitu si suami masuk penjara maka istri dan anaknya akan mengalami kesulitan ekonomi. Dalam beberapa kasus, si istri juga terlibat dalam jaringan suami sehingga ikut diamankan oleh petugas.

Kedua, Kasih sayang sudah tak ada ketika narkoba sudah hadir dalam keluarga. Bagi penyalahguna, hal yang paling dicari dalam hidup ini adalah memenuhi kepuasan semu dahaga adiksi. Dalam mencari kenikmatan semu itu, segala cara digunakan dan semua yang menghalangi akan dihancurkan termasuk keluarga sendiri.

Maraknya kekerasan dalam rumah tangga akhir-akhir ini  salah satunya dipicu oleh penyalahgunaan narkoba. Prilaku pecandu biasanya menjadi tidak stabil, emosional, kasar dan dan biasanya dilampiaskan ke orang-orang terdekatnya. Tak ada lagi kasih sayang, bahkan terkadang seorang suami tega mencekoki istrinya dengan narkoba. Jika si istri tidak mau maka siap-siaplah menerima kekerasa baik secara fisik dan psikis. Tidak mengherankan jika keluarga yang sudah terkontaminasi dengan narkoba banyak yang berujung pada perceraian.

Ketiga, tumbuh kembang anak terganggu apabila orang tua terlibat penyalahgunaan narkoba. Perlu dipahami bahwa kepribadian dan masa depan anak kelak sangat dipengaruhi pola asuh orang tuanya. Jika orang tuanya adalah pecandu maka si anak akan tumbuh dalam rumah tangga berantakan dan kurang kasih sayang.

Seorang anak bahkan bisa terpapar narkoba sejak masih dalam kandungan jika ibunya merupakan seorang pecandu. Racun-racun dari sang tersebut juga akan ikut mengalir melalui tali pusar menuju plasenta. Akibatnya perkembangan organ-organ vital janin akan terganggu bahkan bisa menimbulkan cacat tubuh kelak.

Ketika sudah lahir dan tumbuh menjadi seorang anak sejumlah masalah akan terus membelit. Dia menjadi pecandu dalam usia yang masih belia. Keberadaannya juga akan berdampak pada lingkungan sekitarnya terutama anak-anak lain yang menjadi teman sepermainannya.

Berkaca dari kasus di Kalimantan Tengah ini tampak jelas betapa dahsyat dampak buruk narkoba terhadap kelangsungan dan keharmonisan sebuah keluarga. Karena itu upaya pencegahan perlu dilakukan sedini mungkin di lingkungan masing-masing. Narkoba awalnya merupakan masalah individu tapi jika dibiarkan akan meresahkan masyarakat bahkan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.

| Esdras Idi Alfero Ginting S.Sos | @esdrasidialfero | esdras.idialfero@gmail.com |

Dimuat di Harian Waspada Medan Sabtu 4 Februari 2017

Download E-papernya di sini